Masyarakat Nias selama enam tahun terakhir manja oleh uang yang diberikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau lembaga donor. Ajaran leluhur pun ditinggalkan, mereka selalu mengharap imbalan di setiap pekerjaan saat menolong orang lain.
Gempa besar 28 Maret 2005 telah mengundang simpati banyak negara. Bantuan berdatangan dan banyak program perbaikan dilakukan selama ini. Nias yang semula terisolasi menjadi perhatian baru dunia.
Sumbangsih LSM berdampak besar bagi pemulihan kondisi Nias yang berantakan. Berbagai macam fasilitas hidup diberikan, warga memiliki penghasilan sebab mereka membutuhkan tenaga kerja warga lokal. Sehingga perekonomian pun di Nias bergerak dengan laju yang baik.
Sayang, kehadiran LSM pada sisi lain menambah kerusakan Nias.Mula-mula gempa hanya merusak fisik, tetapi kucuran dana LSM telah merusak mental warga. Masyarakat yang semula memiliki sifat gotong-royong yang kental, dan selalu ikhlas menolong, berubah menjadi pribadi-pribadi yang uangis (lebih mementingkan uang ketimbang menolong-Red). Warga lebih mengharap uang pada setiap mengerjakan sesuatu kebajikan untuk orang lain.
Sebabnya adalah kebijakan LSM yang selalu memberikan uang kepada warga sehabis melakukan sesuatu pekerjaan. Awalnya hal itu bisa dimengerti karena kegiatan tersebut telah menyita waktu dan tenaga mereka. Uang dimaksudkan sebagai pengganti kesempatan menderes getah karet yang hilang atau kewajiban berladang yang terpaksa ditinggalkan.
Ironisnya, saat masyarakat telanjur kecanduan akan hal itu, LSM satu per satu meninggalkan Nias karena programnya telah habis. Masyarakat luas tak menyadari hal itu, mereka hanya berpikir bahwa setiap orang baru yang datang ke daerah mereka akan membawa bantuan. Paling tidak memberikan pelatihan yang di akhir pelatihan memberikan uang.
Ajaran Ono Niha
Kini kondisi kerusakan mental itu jadi semakin parah oleh praktik-praktik perpolitikan lokal. “Tidak ada uang tidak dipilih”, muncul sebagai semboyan populer baru yang dijumpai para aktivis yang tengah menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang.
Modus pemberian uang pun berganti. Bukan lagi uang untuk pilih calon, tetapi uang untuk biaya transportasi ke TPS. Seolah-olah menghilangkan praktik-praktik money politic di mata masyarakat.
Sesungguhnya pemberian uang ongkos transportasi ke TPS itu pun dirasakan seperti pemberian uang oleh NGO atas kedatangan mereka pada kegiatan. Sehingga sifat uangis pun seperti mendapat tempat di masyarakat.
Cukup sudah selama 6 tahun ini masyarakat Nias meninggalkan nilai-nilai falsafah kebudayaannya. Oleh karena itu, langkah terbaik yang harus dilakukan ialah dengan menggunakan kembali cara-cara lama. Cara yang digunakan oleh leluhur ono niha.
Masyarakat mesti memfungsikan kembali petuah-petuah leluhur dalam menyelesaikan masalah. Mesti ada seseorang yang ditokohkan di setiap perkampungan agar tersedia simbol suara dalam mencari jalan solusi. Membangkitkan nilai-nilai kearifan dan terpenting semangat kegotongroyongan yang telah lama ditinggalkan. Dengan begitu kehidupan di Pulau Nias ini akan kembali ke Kehidupan masyarakat adat yang penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan.
Gempa besar 28 Maret 2005 telah mengundang simpati banyak negara. Bantuan berdatangan dan banyak program perbaikan dilakukan selama ini. Nias yang semula terisolasi menjadi perhatian baru dunia.
Sumbangsih LSM berdampak besar bagi pemulihan kondisi Nias yang berantakan. Berbagai macam fasilitas hidup diberikan, warga memiliki penghasilan sebab mereka membutuhkan tenaga kerja warga lokal. Sehingga perekonomian pun di Nias bergerak dengan laju yang baik.
Sayang, kehadiran LSM pada sisi lain menambah kerusakan Nias.Mula-mula gempa hanya merusak fisik, tetapi kucuran dana LSM telah merusak mental warga. Masyarakat yang semula memiliki sifat gotong-royong yang kental, dan selalu ikhlas menolong, berubah menjadi pribadi-pribadi yang uangis (lebih mementingkan uang ketimbang menolong-Red). Warga lebih mengharap uang pada setiap mengerjakan sesuatu kebajikan untuk orang lain.
Sebabnya adalah kebijakan LSM yang selalu memberikan uang kepada warga sehabis melakukan sesuatu pekerjaan. Awalnya hal itu bisa dimengerti karena kegiatan tersebut telah menyita waktu dan tenaga mereka. Uang dimaksudkan sebagai pengganti kesempatan menderes getah karet yang hilang atau kewajiban berladang yang terpaksa ditinggalkan.
Ironisnya, saat masyarakat telanjur kecanduan akan hal itu, LSM satu per satu meninggalkan Nias karena programnya telah habis. Masyarakat luas tak menyadari hal itu, mereka hanya berpikir bahwa setiap orang baru yang datang ke daerah mereka akan membawa bantuan. Paling tidak memberikan pelatihan yang di akhir pelatihan memberikan uang.
Ajaran Ono Niha
Kini kondisi kerusakan mental itu jadi semakin parah oleh praktik-praktik perpolitikan lokal. “Tidak ada uang tidak dipilih”, muncul sebagai semboyan populer baru yang dijumpai para aktivis yang tengah menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang.
Modus pemberian uang pun berganti. Bukan lagi uang untuk pilih calon, tetapi uang untuk biaya transportasi ke TPS. Seolah-olah menghilangkan praktik-praktik money politic di mata masyarakat.
Sesungguhnya pemberian uang ongkos transportasi ke TPS itu pun dirasakan seperti pemberian uang oleh NGO atas kedatangan mereka pada kegiatan. Sehingga sifat uangis pun seperti mendapat tempat di masyarakat.
Cukup sudah selama 6 tahun ini masyarakat Nias meninggalkan nilai-nilai falsafah kebudayaannya. Oleh karena itu, langkah terbaik yang harus dilakukan ialah dengan menggunakan kembali cara-cara lama. Cara yang digunakan oleh leluhur ono niha.
Masyarakat mesti memfungsikan kembali petuah-petuah leluhur dalam menyelesaikan masalah. Mesti ada seseorang yang ditokohkan di setiap perkampungan agar tersedia simbol suara dalam mencari jalan solusi. Membangkitkan nilai-nilai kearifan dan terpenting semangat kegotongroyongan yang telah lama ditinggalkan. Dengan begitu kehidupan di Pulau Nias ini akan kembali ke Kehidupan masyarakat adat yang penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan.
*sudah terbit di nias-bangkit.com 31 Maret 2011
0 Komentar
Silakan Tinggalkan Komentar