Ditengah-tengah hiruk pikuk keistemewaan yogyakarta dan penarikan subsidi BBM yang tak kunjung usai bahkan semakin diributkan ditambah lagi dengan gonjang-ganjing di tubuh mahkamah konstitusi membuat perhatian publik terarah ke hal itu. Sebab masalah-masalah demikian terlalu asik untuk dibicarakan. Dari kalangan bawah sampai atas bisa membicarakannya. Karena tidak terlalu membutuhkan kajian ilmu yang mendalam untuk menyikapinya. Apalagi jika semakin dibawa keranah politik maka akan semakin menjadi santapan yang nikmat buat sarapan pagi sambil minum kopi di warung kopi.
Meskipun begitu besar perhatian publik akan perihal tersebut. Ada sesuatu yang juga tidak kalah pentingnya dari semua masalah itu. Sesuatu yang setiap tahunnya menjadi dilema bangsa ini yang juga tidak pernah kunjung usai ditangani. Bahkan seakan-akan diendapkan jika bulan-bulannya telah terlewatkan sedikit dan kemudian memanas lagi ketika mendekati bulan pelaksanaannya. Hal itu adalah ujian nasional(UN).
Semenjak beberapa tahun belakanganini,banyak kalangan khususnya dari pendidikan yang selalu menaruh perhatian besar pada UN. Sebab setiap tahunnya untuk menentukan kelulusan para siswa akan dihadapkan dengan UN. Meskipun Menteri Pendidikan Nasional(Mendiknas) selalu mengatakan UN hanya menjadi salah satu persyaratan kelulusan. Namun kenyataannya siswa banyak yang tidak lulus akibat UN.
Oleh karena itu UN dinilai telah menghina intelegensi peserta didik. Sebab UN yang menjadi standar kelulusan mengabaikan prestasi yang dibina selama 3 tahun. Apalagi siswa yang tidak lulus UN akan menderita kerugian materil dan imateril. Secara materil berupa biaya pendidikan selama 3 tahun dan secara imateril berupa tekanan phisikologis serta hilangnya kesempatan untuk melanjut ke perguruan tinggi pada tahun tersebut.
Melihat kondisi demikian berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan UN. Hingga membawa permasalahan UN kehadapan mahkamah agung pada 2009 yang lalu. Mahkamah agung pun mengeluarkan putusan nomor 2596/k/pdt/2008 tanggal 14 september 2009 yang menyatakan pemerintah lalai dalam memenuhi hak dasar warga negaranya,terutama pendidikan dan hak anak. Putusan tersebut yang semula dianggap mampu membawa angin perubaham bagi penentu kelulusan teryata hanya menjadi bagian pelengkap dari dilema UN. Sebab pelaksanaan UN tetap berlangsung sebagai mana biasanya pada 2010.
Menjelang tahun 2011 ini UN kembali menjadi perhatian meskipun kalah diperhatikan dari hal lainnya. Setelah permasalahan UN ini menjadi buah bibir anggota parlemen negara ini yakni dengan menyuruh Mendiknas agar mencari formula baru untuk pelaksanaan UN. Mendiknas pun merampungkan formulasi baru untuk menentukan kelulusan. Dimana UN tidak lagi penentu tunggal kelulusan. UN mencover 60% kelulusan dan sisanya sebesar 40% ditentukan nilai ujian akhir sekolah(UAS) dan hasil rapor siswa.
Dilihat dari persentasi yang dicover UN tetap menjadi penentu utama pada kelulusan. Apalagi nilai UN tidak akan digabung dengan nilai UAS dan hasil rapor lalu dibagi. Artinya bentuk formula yang akan diusulkan oleh mendiknas tidak akan merubah persepsi tentang UN. oleh karena itu UN harusnya disetarakan dengan beberapa kriteria pendukung kelulusan. Sementara kriteria pendukung kelulusan tidaklah sebatas hasil UN,UAS dan hasil rapor siswa. Sebab ketiga hasil itu hanya akan menyentuh ranah kognitif. Padahal Mendiknas sendiri ingin ranah afektif dan phisikomotor juga menjadi bagian yang diperhatikan.
Oleh karena itu untuk mencakup ketiga ranah tersebut perlu 5 pendukung kriteria kelulusan yakni hasil rapos siswa,UAS,UN,prestasi non akademik dan sikap(tingkah laku). Ketiga kriteria pertama sejalan dengan usulan Mendiknas sementara dua kriteria terakhir yaitu prestasi non akademik dan sikap merupakan hal yang juga tidak terlepas dari kehidupan siswa setiap saatnya. Banyak siswa yang berperilaku baik dan mampu menorehkan prestasi non akademik seperti kepemimpinan di osis,olahraga dan seni yang mampu mengharumkan nama sekolah justru tidak lulus. Padahal peran serta mereka cukup besar manfaatnya menjadikan sekolah tersebut menjadi sekolah terpandang.
Kelima kriteria itu mendapatkan kesetaraan sebagai penentu kelulusan yakni dengan masing-masing mencover 20%. Lalu setelah kelima kriteria itu disesuaikan dengan bobot 20% kelimanya dijumlahkan. Jumlah dari kelima kriteria tersebutlah yang dilihat apakah layak untuk lulus. Setelah sebelumnya telah ditentukan interval penilaian untuk kelulusan.
Dengan cakupan demikian setiap siswa tentu tidak akan dirugikan. Ketika nilai UN-nya pun anjlok masih ada 4 kriteria pendukung yang jika memiliki nilai besar mampu meluluskannya. UN pun akan dilaksanakan tanpa kecurangan dan hasilnya dapat digunakan mengevaluasi kualitas masing-masing sekolah untuk dilakukan pembenahan-pembenahan oleh pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional.
0 Komentar
Silakan Tinggalkan Komentar